Kamis, 22 Juli 2010

MEMPERTIMBANGKAN WACANA TAHBISAN IMAM PEREMPUAN DALAM GEREJA KATOLIK ROMA (Sebuah Tinjauan Kritis Atas Kanon 1024)

Oleh Max Adifan

Historisitas Gereja Katolik Roma tidak pernah mengijinkan seorang perempuan untuk menerima imamat tahbisan. Ada beberapa alasan yang tercantum dalam Inter Insignores untuk membenarkan kebijakan ini. Alasan pertama yang dikemukankan adalah bahwa tradisi Gereja tidak pernah menahbiskan seorang perempuan menjadi imam. Upaya penelusuran jejak istilah “ordinasi” atau tahbisan itu sendiri hingga ke ritual publik di Roma pra-Kristen menegaskan hal ini, di mana laki-laki merdeka yang menjadi warga negara kekaiseran di”ordinasi”kan untuk memangku satu jabatan pemerintahan resmi di dalam negara Romawi. Setelah kekaiseran Romawi dikristenkan pada abad ke-4, para pemimpin memakai istilah ordo ini untuk tahbisan para imam. Namun pada saat ini, ordo juga digunakan untuk penabisan kelompok-kelompok lain yang dikhususkan untuk pelayanan Gereja, termasuk para perawan dan janda. Sejak abad pertengahan, sakramen tahbisan suci terutama dipahami dalam bingkai imamat, dan dengan berlalunya waktu kata “ordinasi” dikhususkan untuk pentahbisan para uskup, imam dan diakon. Kemudian tradisi ini diyakini sebagai karya Roh Kudus yang harus dihargai dan dipertahankan. Hal ini kemudian sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II dari Gereja Katolik Roma, bahwa pola “ordinasi” sakramental untuk jabatan diakonat, imamat dan episkopat tetap berlaku dewasa ini.
Di samping itu, pendasaran pokok tahbisan imamat ini juga diyakini merupakan warisan tradisi Biblis yang tertuang dalam kisah Perjanjian Lama seperti imamat Harun (saudara Musa) dan penunjukan Lewi sebagai suku yang dikhususkan untuk mempersembahkan kepada Allah doa dan korban penghapus dosa. Dalam tradisi Perjanjian Baru, imamat tahbisan ini dapat diasalkan pada Perjamuan Akhir yang diadakan Yesus bersama dengan para pengikut-Nya menjelang kematian-Nya. Ada beberapa teks Kitab Suci yang menunjukkan bahwa setelah memberkati dan membagi-bagikan roti dan angur kepada orang-orang yang berkumpul bersama dengan-Nya, Yesus mengatakan, “Perbuatlah ini sebagai peringatan akan Daku” (Luk 22: 19; bdk. 1Kor 11: 25). Para pemimpin Gereja Katolik Roma menafsirkan kata-kata ini, yang diasalkan pada Yesus, sebagai tahbisan-Nya atas para rasul, yang semuanya adalah laki-laki. Sebagai pengganti para Rasul, para uskup selanjutnya memeberikan sakramen tahbisan suci hanya kepada laki-laki. Bahkan Maria, ibu Yesus sendiri tidak terhitung di antara para rasul.
Argumen terakhir yang membernarkan keputusan Gereja ini diangkat dari arti symbol religius. Arti simbolis ini yang bertindak in persona Christi, bahwa pada perayaan Ekaristi peran imam bertindak seturut peran Kristus sampai kepada cinta-Nya yang paling dalam. Oleh karena itu, dituntut bahwa imam itu mesti seorang laki-laki karena Yesus adalah laki-laki. Ketiga alasan di ataslah yang mendasari keputusan kanonis Gereja dalam Kitab Hukum Kanonik no. 1024 yang berbunyi: “Hanya pria yang telah dibabtis dapat menerima tahbisan”. Kanon ini berlaku resmi di tengah aktivitas dunia yang memperjuangkan kesamaan derajat antara kaum pria dan kaum wanita.
Ada banyak reaksi yang menentang kanon ini. Reaksi ini kebanyakan datang dari para teolog yang bergumul dengan persoalan feminisme. Dalam cetak biru untuk Vatikan III, Tom Vox menulis,
“Berbagai ajaran resmi Gereja dan perlakuannya terhadap kaum perempuan sebagai anggota kelas II akan semakin menyebabkan lebih banyak kaum perempuan dan lelaki dewasa madia, yang menjari peluang-peluang pelayanan di dalam jemaat Kristen lainnya. Situasi ini akan berdampak sangat negatif terhadap kehidupan sakramental dan dalam Gereja Katolik di negara-negara maju, juga lebih jauh melorotkan panggilan untuk menjadi imam. Hormati semua segi kehidupan Gereja, termasuk tahbisan. Gereja tidak dapat berlangkah maju dengan mengabsahkan diskriminasi ini.
Pernyataan ini menyiratkan beberapa persoalan pokok yang diangkat oleh Tom Vox, yakni persoalan diskriminasi terhadap wanita yang dilakukan oleh Gereja Katolik dan prediksi dampak yang akan dialami Gereja Katolik bila kebijakan ini tetap dipertahankan. Berkaitan dengan persoalan pertama yakni diskriminasi terhadap kaum wanita, pernyataan ini sebenarnya ingin mengkritisi ajaran resmi Gereja seperti yang tertuang dalam Kanon 1024 di atas, yakni tidak diakuinya tabisan imamat bagi seorang perempuan.
Lalu apa yang membedakan antara kaum perempuan dan kaum lelaki dalam hal mendapatkan hak untuk ditahbiskan menjadi imam ini? Pertanyaan ini sangat berkaitan dengan refleksi kritis kaum feminis dalam telaahan teologis mereka. Oleh karena cara teologi feminis itu bersifat eksistensial, maka mereka menanyakan dasar transendental imam kaum wanita. Manakah dasar ilahi? Menurut kaum feminis, “Allah tak akan menerima apa yang bukan merupakan kodratnya dan berhubungan dengan kodrat-Nya. Maka wanita bisa diterima oleh Allah, jika wanita itu juga merupakan kodrat ilahi. Oleh karena wanitapun beriman dan diterima oleh Allah, maka Allah adalah juga seorang wanita, seorang ibu. Lalu, apakah kita harus menolak analisis teolog feminis ini? Kalau kita mengakui dan menerima ini sebagai ajaran yakni Allah sebagai seorang ibu, mengapa Allah itu hanya dilayani oleh laki-laki dalam kaitan dengan imamat tahbisan ini? Mengapa perempuan dilarang menjadi imam? Berkaitan dengan alasan warisan tradisi yang tetap dihidupi, kaum feminis sendiri mempersoalkan keabsolutan tradisi manusia yang merupakan warisan budaya patriarikal, yang lahir dari subyektivitas manusia yang memiliki kemungkinan untuk keliru.
Bila kita memberi alasan bahwa imam itu seorang laki-laki karena Yesus itu seorang laki-laki, dan ia menahbiskan para rasul yang adalah laki-laki pada Perjamuan Terakir, maka kita akan berhadapan dengan kritik Kristologis kaum feminis. Menurut kaum feminis, kepriaan Yesus itu sama dengan keyahudian-Nya yang merupakan aspek kontigensial saja dari diri-Nya. Ia merupakan elemen kebetulan historis. Oleh karena itu kepriaan Yesus tidak bisa dijadikan alasan penguasaan kaum laki-laki atas kaum wanita. Kalau tidak maka sama saja dengan pembenaran dominasi kaum Yahudi atas kaum lain. Sehingga kalau Gereja Katolik tidak menyetujui pembenaran dominasi ini, mengapa seorang perempuan dinyatakan tidak layak menjadi seorang imam? Dalam Kitab Suci, Yesus tidak pernah mengatakan bahwa imam itu adalah seorang laki-laki. Memang Yesus tidak pernah memilih rasul perempuan, namun di antara murid-murid Yesus ada juga perempuan, dan merekalah yang pertama mewartakan kebangkitan Yesus dari alam maut dengan mengabarkan kepada para rasul perihal kubur Yesus yang kosong. (bdk. Mat 28: 1-10). Kalaupun Gereja berkutat lagi pada alasan makna simbolis in persona Christi, maka teolog feminis berusaha menantang tafsiran fiskalis ini, karena mengabaikan kenyataan bahwa Kristus yang bangkit tidak lagi hadir sebagai seorang laki-laki.
Behadapan dengan tantangan dari kaum feminis di atas, penulispun bertanya, apakah memang secara hierarkis Gereja akan tetap mengabsahkan dominasi laki-laki terhadap kaum wanita ini? Bila demikian, Gereja sebenarnya telah mengafirmasi eksistensi kaum perempuan sebagai kaum kelas II. Mereka hanya berhak untuk mendapat posisi sebagai umat. Status Gembala hanya milik kaum pria. Di sini gereja Katolik sebenarnya tetap mewarisi ajaran Thomas Aquinas yang memandang perempuan sebagai denominasi dari kaum laki-laki. Di sini, Gereja sebenarnya telah melangkahi rahmat imamat umum yang terkandung dalam diri orang Kristen, yakni mereka yang dibabtis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk menjadi sebagai orang Kristiani, dengan segala perbuatan mereka, mempersembahkan korban rohani dan untuk mewartakan daya kekuatan Dia, yang telah memanggil mereka dari kegelapan kepada cahaya-Nya yang mengaumkan. Hal ini telah ditegaskan pula oleh Paulus bahwa tidak ada laki-laki atau perempuan dalam Gereja Kristus, karena semua adalah satu di dalam Kristus (Gal 3: 28),. Jadi dalam pernyataan ini, rahmat imamat umum tidak membedakan seksualitas manusia. Semua mereka yang mendapat tugas imamat ini adalah laki-laki dan perempuan yang sudah dibabtis. Lalu kalau mereka tidak najis untuk melaksanakan tugas imamat umum, mengapa tugas imamat jabatan hanya dilakukan oleh laki-laki? Dengan demikian pelarangan terhadap kaum perempuan untuk menjadi imam sudah tidak wajar lagi dan tidak memiliki dasar yang logis.
Melalui tulisan singkat ini, penulis sebagai pribadi sangat mendukung perjuangan dari kaum feminis untuk melenyapkan domininasi kaum pria atas kaum wanita, termasuk dalam persoalan tabisan ini. Inilah suatu catatan kritis saya menghadapi Konsili Vatikan III, kalau memang hal itu mungkin terjadi. Bahwa wacana imam perempuan merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian yang serius dalam sidang Konsili pejabat Gereja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar