Kamis, 22 Juli 2010

KRISTUS SEBAGAI “PLAI LONG DIANG YUNG” (Telaah Kristologis atas Mitos Padi dalam Masyarakat Dayak Wehea)

Oleh: Maximilianus Adifan

I. PENDAHULUAN
Berbagai upaya untuk menggali kekayaan nilai dari budaya lokal yang nampak dalam praktek-praktek religius tradisional mereka telah digalakan oleh berbagai pihak, termasuk para teolog. Dalam konteks teologi, upaya ini dilakukan dengan suatu maksud agar masyarakat lokal sebagai locus teologicus sanggup menemukan konsep tentang Allah yang akrab dengan keseharian hidup dan praktek religius yang mereka hidupi dari generasi ke generasi. Salah satu upaya yang dilakukan oleh para teolog adalah membuat Kristologi Lokal. Hal ini dibuat agar para penganut tradisi lokal itu bisa menemukan suatu bentuk Kristologi yang bisa dikembangkan dalam kelompok masyarakat tertentu.
Sebagai suatu komunitas masyarakat lokal, warisan tradisi dan pola hidup masyarakat Suku Dayak Wehea juga mendapat perhatian dalam upaya membuat Kristologi Lokal ini. Salah satu nilai budaya yang diangkat dari tradisi Suku Dayak Wehea ini adalah mitos padi. Di sini penulis ingin membuat telaahan Kristologis atas mitos padi ini. Orientasi penulis adalah ingin menemukan paham tentang Kristus yang hidup dalam pemahaman masyarakat Wehea yang tertuang dalam mitos tentang asal-usul tanaman padi ini. Suatu harapan yang terbersit di dalamnya adalah bahwa telaahan ini mampu memperkuat iman umat Kristen Wehea akan Kristus yang akrab dengan ritual tradisional yang mereka jalankan setiap tahun.
Penulis memilih mitos padi sebagai basis Kristologi yang sedang dibuat ini didasarkan atas beberapa alasan mendasar. Pertama: mitos ini telah berkembang dalam tradisi tutur (cerita lisan) dari generasi ke generasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan suku Dayak Wehea. Kedua: hampir semua praktek religius tradisional masyarakat Dayak Wehea sangat erat kaitannya dengan ritus penghormatan terhadap padi ini. Hal ini terangkai dalam siklus kehidupan sosial masyarakat Wehea yang diklasifikasikan seturut perkembangan padi, yakni; sebelum padi ditanam, pada saat padi ditanam, setalah padi ditanam (unding), pada saat padi itu hendak dipanen, dan ditutup dengan perayaan setelah padi dipanen.
Keseluruhan siklus ini akan berpuncak pada perayaan akbar yang dilaksanakan setelah panen. Perayaan ini dilihat sebagai perayaaan syukur masyarakat Suku Dayak Weheakarena mendapatkan panenan yang berlimpah setelah bekerja selama setahun penuh. Pesta Syukur ini biasa disebut dengan istilah Lomplai, yang berasal dari penggabungan dua kata, yakni kata lom (pesta) dan kata plai (padi), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan pesta padi atau dengan istilah yang lazim digunakan dalam keseluruhan konteks Kalimantan Timur dengan sebutan “erau padi”. Hal ini didasarkan atas keyakinan yang dianut oleh masyarakat Suku Dayak Wehea yang lahir dari mitos bahwa padi itu berasal dari aktus pengorbanan diri putri Long Diang Yung. Sebagai ungkapan penghormatan yang hendak mereka berikan kepada putri Long Diang Yung yang telah menyelamatkan leluhur mereka dari bencana maka mereka harus menghormati padi yang diyakini sebagai jelmaan putri Long Diang Yung. Oleh karena itu ritus penghormatan terhadap padi ini sagat mewarnai seluruh praktek religius tradisional masyarakat Wehea. Hal ini didasarkan pula pada konteks sosio-historis masyarakat Wehea sebagai masyarakat petani ladang.

II. MITOS PADI DALAM SUKU DAYAK WEHEA
2.1. Memahami Mitos itu sendiri
Mitos merupakan warisan tradisi lisan yang senantiasa berkembang dalam keseluruhan konteks sosial kemasyarakatan lokal yang berbudaya. Mitos ini berkembang dari generasi ke generasi dengan variasi gaya bercerita, tetapi tetap mengacu pada pokok persoalan dan pesan dari ceritera itu sendiri. Ketika mitos ini berkembang dari Generasi ke generasi ke generasi, ia bisa melahirkan suatu pemahaman akan nilai tertentu. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan utama dari kehadiran mitos itu sendiri yakni menawarkan suatu nilai kepada komunitas masyarakat pewaris mitos itu. Dalam konteks tertentu mitos selalu bermuara pada praktek religius tradisional masyarakat pewaris mitos dan terkadang mempengaruhi keseluruhan pola hidup dan relasi antarpribadi atau pun antarkelompok masyarakat.
Ketika mitos berkembang dalam masyarakat tradisional maka ia akan melahirkan praktek religius tradisional yang mengkultuskan pribadi atau tokoh tertentu dari mitos. Kultus individu ini merupakan bias dari keagungan tokoh-tokoh dalam mitos. Kultus individu itu berkembang dan pada akhirnya melahirkan ritus-ritus penghormatan terhadap tokoh yang diagungkan dan diyakini sebagai penyelamat. Dalam konteks tulisan ini, penulis akan mengangkat mitos padi sebagai contoh praktek pengkultusan individu itu sendiri.

2.2. Suku Dayak Wehea Mencari Historiografi
Keberadaan Suku Dayak Wehea hampir saja tenggelam dibalik popularitas suku-suku Dayak yang lain, seperti suku Dayak Benuaq, Suku Dayak Tunjung, suku Dayak Kenya, dll. Menurut bpk. Lukas Ledjie Taq, hal ini disebabkan oleh faktor rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh masyarakat Wehea. Karena SDM rendah maka masyarakat Wehea hanya sanggup menikmati hidup dan tradisinya sendiri tanpa memikirkan upaya untuk mendapat pengakuan akan eksistensinya sebagai salah satu sub suku Dayak yang hidup dan berkembang di wilayah Kalimantan.
Dari segi historisitasnya, eksistensi Suku Dayak Wehea tidak berbeda dengan dengan suku Dayak yang lainnya di Kalimantan Timur, yang berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur mereka bermigrasi ke Kalimantan secara bergelombang. Proses migrasi ini diperkirakan berlangsung sekitar tahun 3000 – 1500 SM. Pada awalnya leluhur suku Dayak ini mendiami tepian Sungai Kapuas, Mahakam dan pesisir pantai pulau Kalimantan. Kedatangan bangsa Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaya beberapa saat kemudian telah memaksa mereka untuk berpindah ke hulu-hulu Sungai. Salah satu kelompok suku ini menetap di hulu Sungai Kayan. Kelompok inilah yang biasa disebut dengan Apokayan, yakni suku Dayak yang menetap di sepanjang sepanjang Sungai Kayan. Karena adanya pertentangan di Apau Kayan, kemudian kelompok tersebut mulai menyebar (migrasi) untuk mencari tempat baru. Beberapa kelompok bergerak ke arah Sungai Skung dan Metgueen dan kemudian terus ke kawasan Kung Beang. Dari Kung Beang (sebuah nama gunung batu), ada yang kemudian menetap di sekitar sungai Wehea atau dalam bahasa lokalnya Long Msaq Teng. Disamping itu, masyarakat yang lainnya turun melalui daerah Sungai Telen, yang kemudian berkembang menjadi tiga desa yang lain dari masyarakat Suku Dayak Weheayang terletak di sekitar Sungai Telen. Kedua kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal cikal bakal keberadaan Suku Wehea.

2.3. Sinopsis Mitos
Konon pada suatu masa, terjadilah bencana kelaparan yang melanda seluruh wilayah Suku Wehea. Bencana ini terjadi karena kemarau berpanjangan. Semua tanaman dan pohon-pohon yang menjadi sumber makanan mengalami kekeringan. Ada pohon-pohon yang masih bertahan hidup tetapi tidak sanggup menghasilkan buah untuk dijadikan makanan warga. Rakyat sangat menderita dan satu per satu mulai ada yang meninggal dunia. Melihat kenyataan ini gelisahlah hati sang Hapuih Ledoh (Raja rempuan atau Ratu). Ia bingung mencari cara untuk menyelamatkan warganya.
Pada suatu malam, bermimpilah Ratu Diang Yung dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, ia didatangi oleh penguasa alam yang bernama Dohton Tanyei. Dohton berkata “kalau engkau menghendaki agar rakyatmu selamat, engkau harus membunuh putri tunggalmu dan membiarkan darahnya membasahi tanahmu. Dari darah itu akan tumbuh serumpun tanaman yang buahnya dapat dijadikan makanan bagimu dan juga bagi seluruh rakyatmu. Kalau tidak engkau akan menyaksikan kebinasaan rakyatmu yang kemudian disusul dengan kematianmu keluarga dan dirimu sendiri”. Sang Hapui memang memiliki seorang putri tunggal yang sangat cantik bernama Long Diang Yung.
Setelah terjaga dari tidurnya, hati ratu berkecamuk. Ia nampak ketakutan. Hatinya gelisah berkepanjangan. Sesaat ia termenung memikirkan dua hal yang mendasar. Di satu sisi ia ingin menyelamatkan warganya. Di sini lain keselamatan warga harus dibayar oleh pengorbanan diri putrinya sendiri yang adalah penerus keturunannya. Setelah dimusyawarakan dengan Tua Adat dan Pemuka Masyarakat, maka ratu pun memutuskan bahwa masyarakat banyak harus diselamatkan.
Kemudian masyarakat diarahkan untuk berkumpul di alun-alun. Di hadapan seluruh warga masyarakat Ratu Diang Yung mengangkat sumpah sebagai berikut; pertama: orang harus menyayangi padi seperti saya menyayangi anak saya dan jangan bertindak kasar / durhaka terhadapnya. Kedua: padi yang adalah jelmaan anak saya harus dipestakan sebagaimana saya melakukannya terhadapnya. Ketiga: bagi orang yang memiliki padi dan menikmatinya serta taat kepada sumpah, akan selamat, panjang umur, sejahtera dan makmur. Keempat: bagi yang melanggar sumpah, akan celaka, ketulahan dan akan menderita karena sakit dan tidak panjang umur.
Setelah selesai mengucapkan sumpah, Ratu Diang Yung menyembeli (mengorbankan) sang Putri Long Diang Yung. Pada saat itu juga, serta merta hari menjadi gelap (mendung) dan hujan pun turun dengan sangat lebat. Dan di tempat Long Diang Yung dikorbankan, terjadi suatu keanehan dan keajaiban, dimana Sang Putri yang telah dikorbankan berubah dan menjelma menjadi serumpun padi yang tumbuh dan meninggi serta mengeluarkan bulir-bulir padi yang telah menguning. Padi itu dinamakan Plai Long Diang Yung sampai saat ini dan padi itu dituai (panen) tiada habis-habisnya dan kemudian dibagikan kepada masyarakat untuk ditanam. Merekapun hidup makmur dan sejahtera.

III. MENUJU KRISTOLOGI LOKAL DARI MITOS PLAI LONG DIANG YUNG
Menelaah sebuah mitos dengan tinjauan Kristologis adalah sebuah upaya pemaknaan terhadap kisah yang mempengaruhi keyakinan komunitas masyarakat tertentu. Dalam hal ini seseorang harus masuk dalam konteks pergumulan rangkap demi kontekstualisasi pemahaman akan yang ilahi. Proses pergumulan rangkap ini dimengerti sebagai keberhadapan seorang pada dua teks yang hendak digumuli, yakni begumul mitos itu sendiri sebagai suatu teks sambil tetap setia pada tradisi Kristen sebagai satu teks di sisi lain.
Dalam kaitannya dengan mitos Plai Long Diang Yung, di sini penulis sedang bergumul dengan dua teks yakni teks Mitos Plai Long Diang Yung dan Teks Tradisi Kristen. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengajak pembaca untuk mencoba menemukan dan memahami nuansa Kristologis dari Mitos Plai Long Diang Yung

3.1. Penyelamatan Manusia merupakan Inisiatip Cinta Allah
Allah adalah cinta. Karena cinta-Nya ia telah menyelamatkan manusia dari segala malapetaka yang menimpa mereka. Hal ini nyata dalam keyakinan masyarakat Wehea seperti yang nampak dalam mitos. Bahwa bencana yang sedang menimpa warga Dayak Wehea telah melahirkan penderitaan yang hebat, bahkan maut tak bisa dikalahkan. Tak ada lagi upaya yang bisa dilakukan, bahkan oleh ratu sendiri. Kepanikanpun terjadi. Dalam keadaan yang demikian Allah tidak menghendaki kebinasaan menimpa masyarakatnya. Allah memanfaatkan inisiatip cintanya. Cinta Allah ini tertuang dalam upaya penyelamataan yang melibatkan juga peran manusia, yaitu peran ratu.
Bila dikaitkan dengan tradisi Kristen, inisiatif cinta Allah ini nampak dalam kisah malaikat Gabriel memberi kabar kepada Maria (Luk 1: 26-38). Kisah ini sungguh menampilkan bagaimana Allah mendatangi Maria untuk menyatakan cinta Allah dalam upaya menyelamatkan manusia.

3.2. Mimpi Sebagai Momen Revelasi
Kasih Allah yang tak terhingga ini nampak kepada manusia dalam berbagai cara. Salah satu cara yang diakui oleh agama-agama adalah melalui mimpi. Mimpi merupakan salah satu bentuk revelasi Allah. Dalam mimpi Allah mencoba membicarakan sesuatu kepada manusia. Dalam mimpi manusia mendapatkan petunjuk bagaimana kehendak Allah itu dipahami.
Peran revelasi dari mimpi ini juga nyata dalam mitos padi Long Diang Yung. Sang Ratu bermimpi bahwa ia didatangi Dothon Tanyei, utusan penguasa alam. Dothon tanyei membawa pesan yang menggusarkan hati. Mimpi sang Ratu mengaharuskan suatu pengorbanan. Ketika mimpi itu dilihat sebagai suatu bentuk revelasi, maka ia melahirkan suatu keyakinan akan kebenaran pesan mimpi itu. Keyakinan akan kebenaran dari pesan mimpi telah mengharuskan putri Long Diang Yung untuk berkorban, di mana darahnya harus menyelamatkan sekian banyak nyawa dalam kerajaannya.
Mimpi sebagai bentuk revelasi Allah juga nampak dalam tradisi Yahudi yang tertuang dalam kisah perjanjian Lama dan perjanjian Baru. Dalam perjanjian lama, salah satu peran mimpi sebagai momen revelasi diri Allah tampak dalam kisah penafsiran mimpi istri Firaun oleh Yusuf. Dalam kisah Perjanjian Baru, ketika Yusuf sedang bingung dan hendak menceraikan Maria dari status sebagai tunangannya karena mengandung tanpa sebab yang rasional, Allah merevelasikan diri-Nya dalam mimpi kepada Yusuf. Bahwa mengambil Maria sebagai isteri merupakan hal yang mulia. (Mat 1: 18-25; bdk. Mat 2: 13-15; 19-23)Jadi revelasi Allah juga nampak dalam mimpi seperti yang nampak dalam mitos padi dan dalam tradisi Kristen.

3.3. Perjanjian membangkitkan Harapan Keselamatan
Perjanjian merupakan ikatan iman manusia kepada Allah. Manusia dihadapkan pada janji untuk melaksanakan kehendak Allah. Bahwa janji Keselamatan yang hendak dinyatakan oleh Allah kepada Manusia itu terpenuhi dalam sikap manusia yang setia pada janji, melaksanakan janji itu sendiri.
Mitos padi Long Diang Yung telah menempatkan janji sebagai kekuatan yang mendatangkan harapan akan keselamatan. Hal ini nyata dalam kisah mimpi, bahwa keselamatan akan tercapai bila putri Long Diang Yung dikorbankan. Janji ini mendatangkan harapan bagi keselamatan semua warga, yakni setelah pengorbanan putri Long Diang Yung, keselamatan warga bisa terjamin.
Tradisi Kristen menghadapkan refleksi imannya pada janji itu sendiri. Perjanjian Lama telah menampilkan janji keselematan manusia melalui keturunan Abraham sampai pada keturunan Daud. Perjanjian Baru sebagai pemenuhan janji keselamatan ini menampilkan misteri inkarnasi diri Allah dalam pribadi Yesus yang lahir, mewartakan diri sebagai pemenuhan janji hingga wafat di Salib sebagai bentuk pengorbanan dan ketaatan terhadap kehendak Bapa yang telah berjanji untuk menyelamatkan manusia (umat pilihan).
Jadi janji mendatangkan harapan. Bahwa setelah ada perjanjian yang terikat di situ terbersit harapan bahwa masih ada keselamatan yang akan diperoleh di tengah kebinasaan yang sedang dialami oleh manusia.

3.4. Menjawab Inisiatip Cinta Allah
Inisiatip cinta Allah tidak membuat manusia manja. Ia tidak membiarkan manusia berbuat apa saja. Ia mengharapkan manusia agar bisa bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan dan cobaan terhadap hidup mereka. Allah menghendaki agar manusia sanggup berkorban demi keselamatan diri mereka. Inilah satu jawaban yang pasti dari pihak manusia untuk menjawabi cinta Allah ini. Jawaban cinta ini telah ditunjukan oleh ratu Diang Yung. Ratu dengan berani dan tegas melanjutkan cinta Allah ini dengan menyelamatkan warganya walau harus mengorbankan putri tunggalnya.
Dalam tradisi Kristen, Maria sebagai bunda Yesus juga disertakan dalam kisah penyelamatan manusia. Maria tampil mewakili manusia dalam menjawabi inisiatip cinta Allah. “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan mu itu” (Luk 1: 38). Penyerahan diri Maria ini bersifat total. Bahkan ia tetap teguh, walau pedang harus menembus jiwanya. Inilah realitas cinta yang paling sempurna. Tak ada cinta yang lebih besar dari pada cinta seorang yang memberikan nyawanya untuk keselamatan banyak orang.

3.5. Penyelamat adalah Yang Tunggal
Mitos padi dalam Suku Dayak Weheatelah menampilkan peran putri tunggal Long Diang Yung. Yang dijdikan penyelamat seluruh warga menurut petunjuk mimpi adalah putri tunggal sang ratu. Putri-putri yang lain tidak ditampilkan dalam kisah keselamatan ini. Lalu kenapa putri ratu yang adalah anak satu-satunya yang harus dikorbankan? Hal ini telah menampilkan kualitas pengorbanan yang tampa pamrih. Cuma satu yang dimiliki, tetapi tetapi yang satu itu juga yang harus dikorbankan. Hal ini berkaitan erat dengan ujian iman Abaraham ketika ia diperintahkan untuk mengorbankan Ishak, putera tunggalnya untuk dipersembahkan kepada Allah. Yang bedanya di sini adalah pengorbanan Ishak hanya dijadikan sebagai bahan ujian untuk Abraham. Kemudian pengorbanan Ishak diganti dengan pengorbanan seekor binatang.
Namun konteks pengorbanan putri Long Diang Yung bukan lagi sekedar ujian iman manusia, tetapi merupakan suatu keharusan. Hanya putri ratu yang bisa menyelamatkan manusia (masyarakat Suku Wehea). Konteks inilah yang menempatkan kisah putri Long Diang Yung ini paralel dengan kisah pengorbanan Anak Manusia dalam tradisi Kristen. Iman akan keselamatan yang lahir dari pengorban Putra Tunggal ini nampak dalam pengorbanan Yesus historis yang adalah putera Tunggal Allah. Yesus berkorban tanpa pamrih demi keselamatan manusia seturut kehendak Allah Bapa. Bahwa hanya pengorbanan diri Dia yang tunggal itu saja yang mampu menebus dosa dan menyelamatkan manusia dari kebinasaan maut. (bdk. Yoh 1: 1-18)

3.6. Penyelamat historis itu Feminim
Konteks pemahaman masyarakat Suku Dayak Weheatentang padi yang berasal dari darah putri Long Diang Yung telah menampilkan sifat Allah yang diimani yakni sebagai seorang wanita. Hal ini sangat nampak dalam kehadiran tokoh-tokoh perempuan seperti yang ditampilkan dalam sinopsis mitos di atas. Di sini mereka menampilkan ratu Diang Yung yang berperan sebagai pengambil keputusan dan Putri Long Diang Yung sebagai Allah Penyelamat yang mengorbankan diri. Unsur feminitas dari kisah ini juga nampak dari kepasrahan seorang putri untuk menerima keputusan sang Ratu yang adalah ibunya sendiri. Jadi unsur feminis yang ditampilkan dalam mitos ini nampak dalam keteguhan dan kerelaan seorang ibu yang merelakan putrinya untuk menyelamatkan warga. Di samping itu, kerelaan sang putri yang tak berdaya juga nampak di sini. Demi kehendak sang Ratu yang ingin menyelamatkan warganya, sang putri rela menyerahkan dirinya, membiarkan kepalanya dipenggal. Mungkin hal ini terjadi karena ia tidak berdaya, atau mungkin juga karena ketaatannya pada sang Bunda. Dari ketaatan yang total ini keselamatanpun terjadi. Di sini tendensi feminis dari Allah sangat nampak. Konsep inilah yang mungkin telah mempengaruhi sistem kekerabatan dalam institusi perkawinan masyarakat Dayak Wehea yang menempatkan perempuan sebagai pemelihara orang tua. Oleh karena itu laki-laki harus tinggal di rumah perempuan dan memelihara orang tua perempuan.
Eksistensi perempuan sebagai penyelamat merupakan pokok refleksi teolog feminis. Namun tanpa refleksi metodologis, masyarakat Dayak Wehea telah menghidupi konsep ini. Konsep fungsional dari pernyelamat sebagai perempuan ini bisa dijadikan dasar bagi perjuangan kaum feminis untuk mengangkat derajat kaum perempuan dalam berhadapan dengan keangkuhan budaya patriarkat. Dalam hal ini, teolog feminis bisa menempatkan budaya Wehea ini sebagai referensi bagi refleksi tentang konsep fungsional Penyelamat historis yang hidup di tenngah masyarakat Wehea, yakni sebagai perempuan dan dijadikan data pembanding bagi konsep fungsional tentang Penyelamat historis dalam tradisi Kristen, yang menampilkan Yesus historis sebagai seorang laki-laki dari Galilea.
Melampaui semua konsep Penyelamat historis ini, eksistensi plai Long Diang Yung yang diyakini oleh masyarakat Wehea sebagai sebagai Penyelamat melampaui seksualitas manusia. Tidak ada perempuan dan laki-laki dalam konteks penyelamatan ini. Di sinilah letak paralelisme konsep antara plai Long Diang Yung dan Kristus. Kristus yang hadir sebagai Roh itu telah melampaui eksistensi historisinya sebagai sebagai laki-laki dan hadir sebagai Roh yang menyelamatkan dan membebaskan manusia dari himpitan rasa lapar dan menderita.

3.7. Penyelamat Harus Berkorban Sampai Mati
Dalam pemahaman masyarakat Wehea, peneyelamat itu adalah seorang yang telah mengorbankan dirinya demi keselamatan seluruh masyarakat. Hal ini nampak dalam upaya pengkultusan pribadi putri Long Diang Yung dalam ritus-ritus penghormatan terhadap padi yang dipraktekan dari tahun-ke tahun. Putri Long Diang Yung telah dibunuh atau dipenggal kepalanya dan membiarkan darahnya tercecer ke tanah. Darah puteri Long Diang Yung yang tertumpah ke tanah itu telah berubah menjadi padi yang selanjutnya menjadi makanan bagi seluruh warga. Dan dari darah yang tertumpah inilah peristiwa penyelamatan itu terjadi.
Bila kita melihat konsep keselamatan yang nampak dalam tradisi Kristiani, Yesus yang adalah penyelamat itu juga telah membiarkan dirinya yang tak berdaya itu tergantung di Salib. Dari Salib darah dan air mengalir dan membasahi bumi. Darah ini disabdakan oleh Yesus untuk diminum demi keselamatan kekal (bdk ritus ekaristi Kristiani dalam Doa Sukur Agung). Jadi setiap peristiwa penyelamatan itu selalu harus menyentu tanah. Dan inilah sabda Yesus, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah (Yoh 12: 24).

3.8. Kebangkitan sebagai Kemenangan atas Maut
Mitos padi telah menampilkan kisah kebangkitan. Namun kebangkitan ini nampak secara simbolis dalam wujud rumpun padi yang tumbuh dari tanah yang dibasahi darah putri Long Diang Yung. Kisah ini bisa dilihat sebagai sebuah keyakinan akan peristiwa kebangkitan yang melahirkan kemenangan. Ketika simbol kebangkitan itu hadir dalam bentuk padi, maka kebangkiatan itu telah mengatasi situasi kelaparan yang sedang terjadi dalam diri manusia (suku Wehea). Oleh karena peristiwa itu merupakan peristiwa penyelamatan, maka ia harus dirayakan. Tradisi Kristen juga telah menampilkan kisah kebangkitan Yesus. Kebangkitan merupakan puncak dari seluruh proses penyelamatan yang dilakuakan dari pihak Allah terhadap manusia. Ketika menyaksikan peristiwa kebangkitan Yesus, semua rasul diliputi kegirangan dan semangat hidup baru lahir. Semangat ini melahirkan upaya pewartaan injil tanpa rasa takut. Jadi di sini lahir suatu keyakinan bahwa yang keluar dari tanah (bangkit) itu menyelamatkan.

IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Paham tentang Kristus yang hadir dalam konsep religius tradisional masyarakat lokal sangat membantu para pewarta dalam upaya mewartakan injil. Memang dalam hal ini terkesan ada upaya penyamaan pribadi Yesus dengan tokoh yang dikultuskan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Namun bukan kesan ini yang hendak dicapai dalam pergumulan rangkap membuat Kristologi Lokal ini. Suatu hal yang ingin dicapai dalam upaya membuat Kristologi Lokal itu adalah bagaimana kita menemukan Yesus yang sudah hidup dan berkembang dalam konsep tradisional, rutinitas keseharian dan praktek religius tradisional masyarakat setempat. Suatu pernyataan yang mengarah kepada suatu keyakinan umum adalah bahwa kalau Kristus belum hadir di tengah masyarakat Lokal tidak mungkin mereka bisa terbuka menerima kehadiran para pewarta Injil.
Berhadapan dengan upaya membuat Kristologi Lokal ini, saya dapat menyimpulkan bahwa kualitas-kualitas paralelisme konsep yang telah dibahas dalam tulisan ini merupakan bisa dijadikan landasan untuk mengklaim gelar Yesus dalam konsep masyarakat Wehea. Oleh karena itu, Yesus dalam pemahaman masyarakat Suku Dayak Wehea dapat dilihat sebagai “Plai Long Diang Yung” atau “Yesus sebagai Padi Long Diang Yung”. Yesus adalah Roh yang menyelamatkan orang-orang yang mengimani Dia. Plai Long Diang Yung juga telah menyelamatkan masyarakat suku Dayak Wehea dari bencana kelaparan yang bermuara pada kebinasaan. Jadi keselamatan tercapai dalam iman akan Yesus sebagai Plai Long Diang Yung yang memberikan diri-Nya untuk menjadi makanan bagi orang-orang yang menderita kelaparan akan cinta Allah.
Di sini Yesus telah melampaui historisitas-Nya. Ia bukan lagi hadir sebagai Yesus yang adalah orang Nazareth dan Long Diang Yung yang adalah putri Ratu Diang Yung dalam mitos Dayak Wehea. Yesus yang adalah Kristus itu melampaui seksualitas manusiawi. Ia bukan lagi laki-laki atau perempuan. Ia adalah Roh yang dipersonifikasikan dengan sebutan Kristus sebagai Plai Long Diang Yung.

4.2. Catatan Kritis
Setelah kita menyaksikan kisah penyelamatan baik dalam kisah historis maupun dalam mitos-mitos kita dapat menyaksikan bahwa aktus penyelamatan manusia itu selalu harus melalui darah. Harus ada korban. Dalam seharah bangsa Israel dapat disaksikan bahwa Allah selalu meminta korban dari pihak manusia untuk mencapai keselamatan. Kain dan Habel telah mengawali kisah pengorbanan ini. Kain telah membunuh Abel, kemudian Allah mengatakan melindungi Habel setelah ia diusir dari tanahnya, diusir dari kemudahan-kemudahan yang diperolehnya dari pemberian Allah.
Dalam kisah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, darah juga telah ditumpahkan. Laut merah menjadi saksi pengorbanan manusia atas kebinasaan yang dialaminya. Mitos yang sedang kita telaah ini juga telah menampilkan darah sebagai imbalan atas keselamatan yang hendak diperoleh manusia. Hal ini digenapi dalam kisah pengorbanan Yesus di atas salib. Darah tercurah dari Salib demi keselamatan manusia.
Lalu kitapun bertanya, Apakah upaya penyelamatan itu harus melalui darah? Apakah tanah kita itu sangat membutuhkan darah manusia untuk menyuburkannya? Apakah Tuhan itu haus akan darah sehingga ia menuntut pengorbanan manusia melalui darah?
Untuk menjawabi pertanyaan ini, sebenarnya bukan darahlah yang bernilai di balik setiap pengorbanan itu. Nilai yang mesti diambil di sini adalah nilai pengorbanan itu sendiri. Bahwa pengorbanan yang paling mulia adalah pengorbanan dari mereka yang menyerahkan nyawanya untuk keselamatan banyak orang.

1 komentar:

  1. Betting tips - babyliss nano titanium flat iron - iTanium
    Betting tips - babyliss nano titanium babyliss pro nano titanium curling iron flat iron. Betting tips - babyliss nano titanium flat iron. 1xbet app Betting tips - babyliss nano titanium flat iron. Betting titanium eyeglass frames tips does titanium have nickel in it - babyliss nano titanium helix earrings

    BalasHapus